Beberapa bulan lalu saya menemukan dan
membaca buku TK milik keponakan saya. Bukunya berjudul/ bertujuan melatih
kemampuan kognitif anak, penulisnya PGRI TK Tulungagung.
Di buku tersebut terdapat latihan soal
untuk dikerjakan anak didik agar memilih dengan mencentang
pernyataan-pernyataan yang menunjukkan ciri-ciri fisik, pakaian, aksesoris,
yang menunjukkan bahwa gambar tersebut
atau anak dengan ciri seperti disebut ini adalah seorang anak perempuan ataukah
anak laki-laki.
Mungkin tujuannya agar anak dapat
dengan mudah mengenali dan membedakan mana anak perempuan dan laki-laki dari
gambar dan tulisan tersebut.
Jadi guru/ penulis membedakan gender
anak perempuan dan laki-laki berdasarkan ciri-ciri berikut:
1. Perempuan digambarkan berambut
panjang, sedangkan laki-laki berambut pendek (ciri fisik dan gaya rambut)
2. perempuan digambarkan memakai
anting, sedangkan laki-laki tidak memakai anting (aksesoris)
3. perempuan digambarkan memakai
atasan kaos dan bawahan rok, sedangkan laki-laki digambarkan memakai kemeja
(padahal digambar juga memakai kaos :D) dan menggunakan celana
Di halaman sebelumnya dalam buku
tersebut juga membahas gender. Bahkan tanpa penjelasan. Siswa hanya diminta
menghitung berapa gambar anak perempuan dan anak laki-laki di soal tersebut.
Pada soal tersebut hanya ada gambar
ukuran pas photo/ close up, gambar bagian kepala saja dari dua
figur. Yang satu memakai aksesoris tali/ penjepit rambut pada rambutnya,
sedangkan yang lainnya memakai topi.
Tentu yang sudah sejak awal dikenalkan
tentang “gambaran umum” perempuan dan laki-laki akan berasumsi perempuan adalah
yang memakai tali rambut pada rambutnya, sedangkan laki-laki adalah yang
memakai topi.
Kalaupun ada yang tidak mengerti dengan
soal ini, guru akan mengarahkan untuk menjawab seperti itu bukan?
Jadi sejak kecil (TK) anak-anak telah
dicekoki ajaran tentang peran/ ciri-ciri gender menurut mereka para guru TK
PGRI Tulungagung ini. Yang diajarkan pada murid ini sesuai dengan pemahaman
mereka.
Apakah ada agenda tertentu di balik
ajaran ini?
Kemudian saya berfikir, hal ini dapat
menjadi awal/ dasar/ benih/ bibit terjadinya bully-ing, pelecehan, dan tindakan
diskriminasi berdasarkan kategori gender dari ciri fisik dan penampilan luar
tersebut,
yang dilakukan anak ini (keponakan
saya misalnya sebagai contoh) kepada temannya atau orang lain yang ditemuinya
dan dilihatnya di TV atau media lain. Bisa saat dia masih anak-anak, remaja
atau bahkan saat dewasa.
Karena dengan doktrin/ didikan awal
sejak pendidikan dini/ TK akan terpatri dalam fikiran/ ingatan anak bahwa
perempuan hanya yang berciri seperti yang telah disebut dan digambarkan dalam
buku tersebut,
jika seseorang tidak mempunyai
ciri-ciri yang sama dengan itu maka orang tersebut bukan perempuan, atau
disebut perempuan yang menyimpang atau tidak waras, aneh, tidak umum, dan
pandangan buruk lainnya.
Misal perempuan tersebut tidak akan
dianggap feminim, atau kelaki-lakian/ menyerupai laki-laki dan menyalahi
kodratnya sebagai perempuan, karena dalam agama pun ada dalilnya.
Begitupun dengan laki-laki. Tapi
menurut saya ini hanyalah masalah persepsi mereka, lalu kemudian mereka mengkristalkannya
menjadi ajaran, inilah ciri-ciri perempuan dan ini ciri laki-laki.
Padahal di setiap negara, bahkan
daerah, atau juga lingkup keluarga, ciri-ciri dari perempuan dan laki-laki
berbeda-beda, baik dari ciri fisik, gaya rambut, gaya berpakaian, peran dalam
keluarga, posisi dalam dunia kerja.
Semua tidak selalu sesuai dengan
ciri-ciri yang digambarkan dengan buku tersebut. Sedang anak akan menganggap
BENAR yang ada di buku dan diajarkan oleh guru mereka.
Maka untuk seterusnya yang tidak
sesuai dengan buku dan guru berati SALAH. Pemahaman dan anggapan seperti akan
sangat sulit diluruskan/ dihilangkan.
Jadi menurut saya hal (ciri-ciri)
tersebut tidak tepat/ relevan/ valid.
Tidak seharusnya guru menyamaratakan/
megeneralisasikan ciri-ciri perempuan maupun laki-laki dari pernyataan-pernyataan
pada soal dalam buku TK tadi.
Karena dalam dunia nyata tidak seperti
itu. Dan anak murid TK ini nantinya akan hidup di dunia nyata bukan hanya dunia
kecil yang guru dan orang tuanya ciptakan bukan?
Apakah guru-guru tersebut tidak
berfikir jauh ke depan apa dampak buruk yang ditimbulkan dari ajaran/ didikan/
doktrin/ pemahaman yang ditanamkan tersebut pada anak kecil/ siswa TK?
Lalu siapa yang salah? Guru yang
menyusun soal dalam buku tersebut? PGRI? Kementerian yang membuat kurikulum?
Pemerintah yang membiarkan hal ini terjadi? Atau justru saya yang terlalu
berlebihan?
Saya tidak berfikir tentang dampak
jangka pendek saja tapi juga jangka panjang.
Dengan sistem pendidikan/ kurikulum/
isi ajaran yang seperti itu yang ditanamkan pada anak kecil, belum lagi peran keluarga
yang mungkin mengamini ajaran di buku dan dari guru si anak, dan tidak memberi
pemahaman yang lebih objektif, logis dan realistis.
Karena orang tua dan anggota keluarga
lain juga mendapat pendidikan yang sama ketika mereka kecil. Jadi persepsi
orang tua dan guru sejalan dalam hal ini.
Terkadang orang tua selalu mengatakan
anak perempuan itu HARUS seperti ini perilakunya, pakaiannya, cara
berpenampilan, dan bersikapnya; sedangkan laki-laki itu harus seperti ini
(berlawanan dari yang telah disebutkan sebagai ciri perempuan).
Dan kemudian orang tua kadang memarahi
anak jika mereka bersikap, berperilaku atau berpenampilan tidak sesuai dengan
yang diajarkan (menurut persepsi) orang tua.
Tak jarang pula orang tua, lingkungan
sekitar terdekat dengan anak membicarakan (gosip), mengejek, menghina orang
yang mempunyai sikap, perilaku dan penampilan yang tidak sejalan dengan
persepsi mereka.
Dan semua itu didengar si anak dan
mempengaruhi cara berfikirnya kemudian.
Sebenarnya siapapun punya hak
mengungkapkan pendapatnya, mempunyai pandangan masing-masing tentang
penilaiannya terhadap orang lain terkait gender misalnya,
namun saran saya jangan sampai hal
pembicaraan ini didengar anak, yang kemungkinan besar belum mengerti, belum
bisa memproses, berfikir dan memilah-milah tentang/ antara anggapan dan
kebenaran atau ilmiah.
Jujur, saya pun terkadang masih sering
mengeluarkan komentar tak baik jika saya melihat seseorang laki-laki misalnya
yang mempunyai ciri-ciri, kepribadian, cara bicara, bersikap, berperilaku dan
berpenampilan tidak sesuai dengan tipe ideal saya.
Saya hanya tidak menyukainya, maksud
saya, saya mungkin terpengaruh dari penanaman-penanaman nilai yang sebelumnya
telah saya dapat ketika kecil
dan saya pun membentuk opini dan
persepsi tentang tipe ideal saya, seperti apa laki-laki yang saya sukai atau
membuat saya tertarik.
Hal ini wajar, bukan masalah.
Masalahnya, saya akhirnya secara spontan, tidak sengaja, dan tidak bermaksud
menghina tapi kata-kata yang tidak respek ke luar dari mulut saya tanpa dapat
saya kendalikan.
Kemudian sesaat setelah itu saya akan
menyesal dan berfikir ulang.
Saya sendiri mungkin bisa dikatakan
masuk kategori yang biasa orang-orang katakan perempuan tomboy/ boyish/
kelaki-lakian, apakah mungkin dari penampilan, cara berpakaian, atau mungkin
juga dari cara berfikir, sikap dan perilaku.
Dan saya sendiri sangat memahami
kenapa bisa seperti ini. Saya mengerti dan tidak menyalahkan diri saya seperti
ini, hal ini tidak ada yang salah.
Semua itu bisa terbentuk karena pola
asuh orang tua, kondisi keluarga, lingkungan, pendidikan dan sebagainya. Hal
itupun dapat terjadi pada laki-laki yang saya sebutkan sebagai contoh tadi.
Meski mungkin orang tersebut ingin
berubah misalnya, merubah cara bicaranya, gesturnya, sikap dan cara berfikir
serta berperilaku; ini semua akan sulit.
Mungkin jika merubah gaya rambut,
penampilan, pakaian tidak akan terlalu sulit. Tapi tetap saja ini semua bukan
kesalahan individu tersebut. Dan memang sebenarnya itu bukan kesalahan.
Yang salah adalah cara pandang/ persepsi.
Itu awal yang dapat menjadi perdebatan. Semuanya bersumber dari persepsi yang
berbeda-beda dalam menilai sesuatu atau seseorang.
Saat ini saya mulai berusaha mengerem (mengendalikan)
kebiasaan komentar spontan yang kurang santun tentang laki-laki yang mungkin
tidak sesuai dengan tipe ideal/ idaman saya. :D
Kembali pada pemahaman yang salah/
kurang tepat yang telah ditanamkan pada anak sejak masa kanak-kanak akan
terbawa terus sampai dewasa/ tua dan sulit untuk menghapus atau merubahnya.
Hal ini menjadi tugas kita yang peduli
terkait isu keadilan dan kesetaraan gender dikaitkan/ dihubungkan dengan
pendidikan, utamanya pendidikan anak atau usia dini, untuk berusaha meluruskan
hal ini, dengan edukasi mungkin.
Saya baru bisa mengkritisi dan menulis
postingan ini sebagai salah satu kontribusi dalam mengajak pembaca untuk
merenungkan tentang masalah ini;
serta mengajak teman-teman aktivis
keadilan dan kesetaraan gender, aktivis pendidikan, utamanya pendidikan
anak-anak untuk membicarakan/ mengkaji masalah ini.
Hal ini juga menjadi PR bagi guru-guru
khususnya TK, pemerintah dalam hal ini
kementerian, dan pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan masukan saya dan
mengkaji ulang isi dari buku, kurikulum dan ajaran yang diajarkan di sekolah.
Orang tua pun dapat turun andil dalam
hal ini, saya harap orang tua bisa lebih bijak dalam mendidik anak-anaknya.
Ciri-ciri gender seperti yang
diutarakan di buku TK karya PGRI Tulungagung kurang tepat menurut saya.
Karena pemahaman seperti itu akan
mempengaruhi cara pandang dan bersikap/ bertingkah laku seseorang, tidak hanya
terhadap orang lain namun juga pada diri sendiri.
Dan dampaknya pun dapat menghambat pergaulan/
kehidupan sosial dan karir seseorang.
Semoga keadilan dan kesetaraan gender
dapat diterapkan di Indonesia dalam segala bidang serta tidak ada lagi
kekerasan berdasarkan gender (Gender-Based
Violence) ya...